Selasa, 19 Februari 2008

AGENDA KEBIJAKSANAAN REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA

Prof. Dr. Muh Irfan Islamy, MPA.
Judul ini dipilih bukanlah sekadar untuk memenuhi tuntutan selera masyarakat yang sedang gandrung dengan reformasi akan tetapi lebih merupakan refleksi akademik saya untuk senantiasa peka terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih maju, modern dan sejahtera lahir dan batin. Kita telah sepakat kiranya bahwa reformasi itu mencakup berbagai aspek kehidupan kenegaraan kita secara total dan fundamental. Karena pada hakikatnya reformasi itu merupakan upaya bangsa yang perlu dilakukan tiada henti untuk selalu mencari dan menemukan format baru di berbagai bidang kehidupan dalam rangka menyempurnakan kualitasnya. Dan secara fundamental reformasi itu adalah merupakan a major change of the mind - set untuk mengubah tata pikir yang keliru, yang perlu direvisi menuju ke tata pikir yang lebih mendasar sesuai dengan cita - cita dan kepentingan masyarakat bangsa kita.
Saya ingin mengajak untuk merenung dan memikirkan penyempumaan kualitas administrasi negara kita yang akhir - akhir ini dinilai kurang menggembirakan. Agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara (administrative reform) yang saya maksud perlu disusun dan diarahkan menuju ke peningkatan kinerja pemerintah yang tidak saja secara klasik demi tercapainya tujuan yang efektif dan efisien tetapi juga sejauh mungkin tujuan itu tercapai sesuai dengan kriteria public accountability and responsibility yang harus dipenuhi oleh setiap aparat pemerintah / birokrasi negara di semua lini. Untuk mencapai tujuan itu reformasi administrasi negara utamanya pada penyempurnaan manajemen pelayanan publik. Hal ini disebabkan karena masyarakat selalu mengharapkan memperoleh pelayanan yang sebaik - baiknya dari aparat pemerintah.



Mengapa kita perlu menyusun agenda kebijaksanan reformasi administrasi negara yang berujung pada penyempurnaan manajemen pelayanan publik?
Setidak - tidaknya ada 5 hal dan sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik -baiknya kepada masyarakat
1 Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Rekruitment penyelenggara pemerintahan di semua jenjang harus benar -benar didasarkan pada persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
2 Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban -kewajibannya tetapi seringkali hak -haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
3 Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis sehingga mereka benar - benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktiv dengan serta kelangkaan sumber – sumber.
4 Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan terpenuhinya public



accuntability and responsibility yaitu menyatakan bahwa reformasi administrasi dengan menekan sekecil mungkin terdiri dari dua aspek mayor yaitu:

pemborosan penggunaan sumber -sumber negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas -tugasnya.


5. Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan dengan sungguh - sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.
Kelima hal diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak tuntutan masyarakat yang harus diperhatikan dengan sungguh -sungguh oleh birokrasi pemerintah.
Reformasi administrasi pada hakikatnya menyangkut dimensi dan spektrum yang sangat luas dan kompleks dengan tujuan yang sangat jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijaksanaan reformasi adminsitrasi perlu diarahkan (dengan meminjam kata - kata Caiden:1969): "to Improve the administrative performance of individuals, groups, and institutions more effectively, more economically, and more quickly.” Setiap aparatur pemerintah dengan demikian perlu ditingkatkan keahlian / kapasitas administratifnya, tanggung jawabnya, moral etikanya, kepribadiannya, semangat kerjanya, kreativitasnya, loyalitasnya, semangat keepentingan bersamanya, disiplinnya, otonominya dan saling ketergantungannya serta profesionalismenya. Dan secara kelembagaan yang perlu diingatkan antara lain strukturnya, sistem dan prosedurnya, kepemimpinannya, koordinasinya, manajemen partisipasinya, adaptasinya, hubungannya dengan klien, efisiensi dan efektivitasnya, akontabilitas dan responsibilitasnya.
Pandangan Caiden diatas secara lebih spesifik bisa diartikulasikan ke dalam pandangan para pakar administrasi dari negara -negara Asia Pasifik yang tergabung ke dalam Eastern Regional Organization for Public Administration (EROPA) seperti misalnya Zhijian, de Guzman, dan Reforma (1992) yang

Firstly, from the point of view of structuralchanes, which involves adjustment in authority relationships in bureaucratic organization by way of abolition, integration merger or creation of administrative units, the transfer of addition of functions and responsibilities of agencies, as well as the introduction of new procedures and regulations in governmental transactions, Secondly, from the point of view of behavioral changes which have to be engendered to evoke productivity values as well as responsiveness to the client systems.
Kedua arah dan sasaran reformasi administrasi yaitu penyempumaan struktur birokrasi dan pembahan perilaku aparatnya menjadi conditio sine quo non bagi upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah.
Menurut pandangan pakar administrasi kita, misalnya Siagian melihat pentingnya arah reformasi administrasi negara di Indonesia yang ditujukan ke pengembangan administrative infrastrukture yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja (Siagian:1982). Dan menurut Tjokroamidjojo ketika menganalisis administratif pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi administrasi perlu ditujukan ke 7 wilayah penyempurnaan utama yaitu (Tjokroamidjojo:1985):
1 Penyempumaan dalam bidang pembiayaan pembangunan
2 Penyempumaan dalam bidang penyusunan program -program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non ekonomi dengan pendekatan integratif (integrative approach).
3 Reorientasi kepegawaian negeri ke arah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah.
4 Penyempumaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah.




1 Administrasi partisipatif untuk mendukung pembangunan daerah.
2 Kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan.
3 Lebih bersihnya pelaksanaan administrasi negara



Menyadari akan luas dan kompleksnya arah dan wilayah reformasi administrasi negara di negara kita maka pelaksanaannya perlu memperoleh dukungan dari sektor - sektor lain seperti politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Kondisi politik yang stabil, perkembangan ekonomi yang tinggi dan pelaksanaan hukum yang mantap dan konsisten akan memberikan kontribusi yang optimal bagi keberhasilan usaha -usaha reformasi administrasi di negara kita.
Penyusunan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara membutuhkan strategi yang tepat. Pilihan pendekatan yang akan dipakai perlu ditetapkan yaitu apakah akan menggunakan pendekatan komprehensif (comprehensive approach) ataukah pendekatan inkremental (selectivism / The islands of Excellence approach). Masing -masing pendekatan apabila dipergunakan secara terpisah mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri - sendiri. Reformasi administrasi yang menggunakan pendekatan komprehensif kelebihannya adalah bisa mencakup berbagai sektor infrastruktur administratif yang luas tetapi kelemahannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan untuk negara berkembang seperti halnya negara kita mempunyai kendala keuangan / dana dan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Pendekatan inkremental kelebihannya adalah karena sering kali reformasi terkesan tambal sulam dan lebih -lebih lagi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia tidak memiliki administrative maping yang bisa dipakai sebagai landasan untuk melakukan reformasi administratif yang menyeluruh.
Sehubungan dengan hal itu maka penetapan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi di negara kita perlu mencermati kelemahan - kelemahan yang ada pada ke dua pendekatan tersebut di atas dan memanfaatkan kelebihan -kelebihannya. Menurut Tjokroamidjojo (1985).

"Pada umumnya cenderung dilakukan suatu perencanaan perhatian dan penyempurnaan administrasi negara dilihat secara menyeluruh dalam dimensi waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan pula antara lain karena tingkat kematangan suatu perbaikan administrasi negara memang memerlukan jangka waktu panjang. Tetapi pelaksanaannya dilakukan secara sebagian -sebagian sesuai dengan prioritasnya.”
Dengan bahasa lain, menurut saya dalam menetapkan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi di Indonesia perlu memadukan secara serasi kedua pendekatan tersebut dengan terlebih dahulu diawali dengan penyusunan peta reformasi administrasi yang menyeluruh, jelas dan akurat dan kemudian diikuti dengan kebijaksanaan implementasi yang konsisten dan bertahap sesuai dengan kemampuan dana dan daya.
Sebagaimana yang telah saya kemukakan sebelumnya bahwa end - product dari kegiatan reformasi administrasi negara di negara kita seyogyanya diarahkan pada penyempumaan manajemen pelayanan publik. Oleh karena itu, agenda kebijaksanaan reformasi admimstrasi yang perlu disusun adalah sebagai berikut:
l. Memadukan Rule Governance and Goal Governance
Kita semua telah melihat dan merasakan bahwa sebagian besar organisasi publik kita di berbagai sektor misalnya pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan dan sebagainya telah berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational lack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintahan atas masalah ini dan bahkan mereka telah memberkan berbagai macam public alarm agar pemerintah, sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengambil inisiatif yang cepat untuk menanggulanginya dengan cepat


Terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan / orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, pengusaaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah tambunnya unit-unit organisasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (Personalia, peralatan dan Penganggaran), yang cukup handal (viable bureacratic infrastructure). Aparat Organisasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin. Mereka tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah adaptasinya terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Selain itu, salah satu public alarm itu juga berbunyi nyaring yang mempertanyakan tentang posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan publik / kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat rakyat, alat penguasa ataukah penguasa itu sendiri? (Kuntjoro-Jakti:1980). Amien Rais (1997) dengan jelas telah menunjukkan posisi birokrasi kita yang telah berkembang menjadi semakin elits yang semakin jauh keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat banyak. Aparat pelayanan kita telah memposisikan dirinya sebagai tuan yang meminta pelayanan dan bukan sebagai abdi yang harus memberikan pelayanan.
Birokrasi publik itu kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patriomonalistis: tidak efisien, tidak efektif, (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Usaha - usaha untuk me -make up wajah birokrasi publik yang patriomonialistis menjadi yang lebih rasionalistik bukan humanistik (Dvorin dan Simmons: 1972) telah ada /lama dilakukan, namun hasilnya masih

belum meyakinkan. Hal ini tampak misalnya penerapan prinsip -prinsip birokrasi tipe ideal Weber yang berciri struktural-hierarkikal, imparsial, penerapan aturan yang ketat, pengawasan yang ketat, berdasarkan prinsip keahlian / spesialisasi dan sebagainya, kemudian dikenal dengan paradigma rule governance, telah banyak dilakukan di berbagai organisasi publik. Penerapan prinsip - prinsip birokrasi rasional menunjukkan hasil di satu sisi positif dalam arti semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh organisasi publik, tetapi di sisi lain bersifat counter -productive terhadap nilai - nilai kemanusiaan. Birokrasi publik telah menjadi mesin rasional yang menciptakan perilaku aparat yang formal, kaku dan robotic yang kurang peka terhadap nilai - nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Struktur birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan akibat-akibat disfungsional dari birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat bisa menyebabkan timbulnya konflik dengan masyarakat yang dilayani. Demikian pula aturan - aturan (rules) sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri bila aparat tidak memahami dengan benar fungsi atau peran aturan - aturan tersebut. Aturan - aturan itu menurut Reinhard Bendix "tidak lebih dari penuntun - penuntun yang tidak sempuma bagi tindakan manusia sehingga faktor - faktor di luar aturan itu harus diperhatikan."
Paradigma rule governance tidak berarti tidak bisa dipakai pada birokrasi publik era Indonesia kontemporer. Relevansi dan signifikasinya masih bisa dipertahankan sepanjang sisi - sisi positif dari paradigma tersebut dapat secara terus menerus dapat diadaptasikan dengan administrative ecology yang terus berubah.
Manajemen sektor publik yang dijalankan berdasarkan paradigma rule governance berimplikasi pada eksistensi dan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan di mana "Governance should be small and organized in accordance with clear rules that promote predictability and legality". (Jan -Erik Lane:1995). Pemerintah kita sekarang tidak lagi kecil tetapi sudah demikian besar yang tentu saja tidak dapat lagi dijalankan


dengan semata -mata berdasarkan pada sistem perilaku aparat yang berorientasi pada aturan yang ada (a rule oriented system of behavior) tetapi harus lebih pada sistem perilaku yang berorientasi pada pencapaian tujuan (goal-oriented behavior). Pemerintah kita sekarang membutuhkan lebih banyak tenaga profesional yang menguasai teknik - teknik manajemen pemerintah dan yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan. Atau seperti yang dikatakan oleh Lane : "The rule may be handled by administrative prersonnel whereas golas must be accomplished by professionals". Oleh karena itu, manajemen sektor publik sekarang ini membutuhkan lebih banyak aparat -aparat profesional yang dapat menangani tugas -tugas pemerintahan berdasarkan keahlian profesional.

Manajemen pelayanan publik, dengan demikian harus lebih dilandaskan pada paradigma goal governance yang didasarkan kepada pendekatan manajemen baru (a new managerial approach). Dikatakan oleh huges (1994) bahwa : the public sector in the future will inevitably be managerial in both theory and practice". Paradigma goal govemance berupaya untuk menghilangkan praktek -praktek birokrasi Weberian yang negatif seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal menghasilkan biaya operasional yang lebih mahal dari pada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif / kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan inefisiensi.
Pendekatan manajemen baru di sektor publik, menurut Huges, ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
Pertama, peubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisonal menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik untuk menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan lebih luwes.
Ketiga, tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan untuk dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing -
masing. Demikian pula sistem evaluasi program - programnya.
Keempat, staf pimpinan yang senior mungkin bisa mempunyai komitmen politik kepada pemerintah yang ada dari pada bersikap non partisan dan netral.
Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji-pasar (market tests) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan/ ditangani sendiri oleh pemerintah.
Keenam, mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
Penerapan pendekatan manajemen barupada sektor publik telah banyak disarankan oleh para pakar dengan label yang berbeda -beda seperti misalnya dengan nama "managerialism" oleh Pollitt (1990), "new public management oleh Hood (1991), market -based public administration" oleh Lan dan Rosebloom (1992), dan "enterpreneurial government" oleh Osborne dan Gaebler (1992). Adapun label yang dipergunakan, yang jelas telah banyak sektor publik di negara-negara maju baik di benua Amerika maupun Eropa yang telah berhasil menerapkan pendekatan manajemen baru ini.
Dapatkah pendekatan manajemen baru di sektor publik ini diterapkan di negara kita ? yang jelas pendekatan manajemen baru ini telah merubah fokus sektor publik dari yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "Product atau dari "rule govemment menuju ke "goal govemance.”
Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan penting tersebut di atas perlu kita clearkan posisi kita atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
Bagaimanakah aparat pemerintah kita menyikapi perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi pada masyarakat kita? administrasi competence apa saja kah yang harus dimiliki aparat pemerintah agar mampu menangani berbagai masalah yang timbul silih berganti ? sejauh manakah aparat pemerintah tetap bertindak populis dan berpihak kepada kesejahteraan rakyat banyak mengingat begitu besamya tantangan dan tanggungjawab yang harus dihadapinya ?

Tidak ada komentar: