Selasa, 19 Februari 2008

DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK

Hubungan Komplementer Antara Sektor Negara, Mekanisme Pasar Dan Organisasi Non-Pemerintah
Oleh Drs. Suwondo, MS
I

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat meemenuhinya.
Desentralisasi adalah suatu paham yang mencoba menggugat kelemahan-kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi. Pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, dengan jargon idealnya Walfare State, dalam realitasnya hanyalah sebatas retorika. Sebab, urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat diurus “secara borongan” oleh institusi negara.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang / kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Miftah Thoha, 1991). Sedangkan Handayaningrat (1988), membedakan antara pelayanan masyarakat yaitu aktivitas yang dilakukan untuk memberikan jasa-jasa dan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat. Sedangkan satu lagi, adalah pelayanan umum (public service) yaitu pelayanan yang diberikan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektivitas dan penghematan dengan melayani kepentingan umum di bidang produksi atau distribusi yang bergerak di bidang jasa-jasa vital.
Jika dilihat dari segi dimensi-dimensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa jenis, misalnya Chitwood (dalam Frederickson, 1988) menyebutkan apabila pelayanan publik dikaitkan dengan keadilan, maka bisa dibagi ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu :
1 Pelayanan yang sama bagi semua. Misalnya pendidikan yang diwajibkan bagi penduduk usia muda.
2 Pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, yaitu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Misalnya jumlah polisi yang ditugaskan untuk berpratoli dalam wilayah tertentu berbeda-beda berdasarkan angka kriminalitas.
3 Pelayanan-pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan. Ada beberapa kriteria mengapa pelayanan itu tidak sama antara lain: satu, pelayanan yang diberikan berdasarkan kemampuan untuk membayar dari penerima pelayanan. Dua, penyediaan pelayanan-pelayanan atas dasar kebutuhan-kebutuhan.

Berkembangnya ragam pelayanan publik dan kian tingginya tuntutan pelayanan publik yang lebih efisien, cepat, fleksibel, berbiaya rendah serta memuaskan, akan menjadikan negara pada posisi “kewalahan” manakala masih tetap memaksakan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang “paling syah” dalam memberikan pelayanan. Bahkan jika ia tetap menempatkan diri sebagai agen tunggal dalam memberikan pelayanan. Bahkan jika ia tetap menempatkan diri sebagai agen tunggal dalam memberikan pelayanan, pastilah akan berada pada posisi “payah”. Karena itu, emngurus sesuatu yang semestinya tidak perlu diurus, haruslah ditinggalkan oleh negara; agar lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang lebih strategis dan krusial.
Karena itu, konsep desentralisasi sebenarnya bermaksud untuk mengurangi beban negara yang berlebihan dan tidak semestinya. Ia merekomendasikan berbagai hak, wewenang, tugas dan tanggungjawab dengan masyarakat (baik terorganisir maupun tidak) dalam mengurusi dan memberikan pelayanan publik agar tidak semakin “kepayahan”. Bahkan ia memberikan rekomendasi agar rakyat diperbolehkan mengurusi dirinya sendiri; dan tidak serba menyerahkan segala urusannya kepada negara.
II

Pengertian desentralisasi dan otonomi, sampai saat ini sebenarnya masih terdapat banyak pendapat. Setiap orang mempunyai tafsiran yang berbeda terhadap “istilah” yang disebut dengan desentralisasi dan otonomi ini. Sebagai akibatnya, terdapat beragam pengertian yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. PBB misalnya, pada tahun 1962 mengartikan desentralisasi sebagai (1) dekonsentrasi, yang juga disebut desentralisasi birokrasi atau administrasi, dan (2) devolusi yang sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal. Di lain pihak, Lemieux (dalam Zuhro, 1998) menyatakan bahwa secara konseptual, desentralisasi dn otonomi dipandang sebagai suatu hak dan kewenangan daerah untuk mengatur dirinya sendiri, baik yang menyangkut keputusan administrasi maupun keputusan politik dengan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan menurut Rondinelli, (1981) menyatakan bahwa desentralisasi sebagai : “The transfer or delegatian of legal and outhority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public corporation, areawide or regional development authorities; functional authorities, autonomous local government, or non-governmental organizational”. (desentralisasi merupakan transfer atau pendelegasian wewenang politik dan hukum untuk merencanakan, membuat keputusan dan memanage fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya terhadap organisasi-organisasi di lapangan dari lembaga-lembaga tersebut, unit-unit pemerintah, otoritas pembangunan regional; wewenang fungsional; pemerintah-pemerintah otonomi lokal; atau lembaga-lembaga non-pemerintahan). Berdasarkan pendapat tersebut desentralisasi dikategorikan atas tiga kategori, yaitu: 1). Dekonsentrasi, 2). Delegasi, 3). Devolusi,
Dekonsentrasi pada dasarnya merupakan bentuk desentralisasi yang kurang ekstensif, yang sekedar merupakan pergeseran beban kerja dari kantor-kantor pusat departemen kepada staff, itu mungkin tidak diberikan kewenangan untuk merumuskan bagaimana yang dibebankan kepadanya harus dilaksanakan.
Delegasi adalah bentuk desentralisasi dalam wujud pembuatan keputusan dan kewenangan-kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi publik tertentu pada organisasi-organisasi tertentu dan hanya dikontrol secara tidak langsung oleh departemen pusat.
Devolusi diartikan sebagai wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political decentralization). Ciri-ciri pokok dari devolusi ini antara lain : Pertama, diberikan otonomi penuh dan kebebasan tertentu kepada pemerintah lokal,
serta kontrol yang relatif kecil dari pemerintah pusat terhadapnya.
Kedua, pemerintah lokal ini harus memiliki wilayah dan kewenangan hukum yang jelas dan ebrhak untuk menjalankan segala kewenangan hukum dan berhak menjalankan fungsi-fungsi publik dan politiknya (pemerintahannya).
Ketiga, pemerintah lokal harus diberikan “corporate status” dan kekuasaan yang cukup untuk menggali sumber-sumber yang diperlukan untuk menjalankan semua fungsi-fungsinya.
Keempat, perlu mengembangkan pemerintah lokal sebagai institusi, dalam arti bahwa ini akan dipersiapkan oleh masyarakat lokal sebagai organisasi yang menyediakan pelayanan yang memuaskan kebutuhan mereka sebagai satuan pemerintah dimana mereka mempunyai hak mempengaruhi keputusan-keputusan.
Kelima, devolusi mensyaratkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan serta koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
III

Uphoff (1998) merekomendasi keterlibatan tiga sektor dalam memberikan pelayanan publik, ialah sektor negara (government/state), pasar (market) dan Non Government Organization (NGO) / Grassroot Organization/civil institution. Bahkan ia memandang bahwa keberhasilan suatu pembangunan banyak bergantung kepad rekayasa sinergi yang positif di antara ketiganya. Ketiganya merupakan institusi yang saling melengkapi dan berhubungan.
I. Pada sektor pemerintahan : (1) yang menjadi mekanisme pengendali adalah organisasi birokrasi yang berlevel mulai dari pusat sampai ke desa, (2) sebagai pengambil keputusan adalah para administrator yang dikelilingi oleh elit ahli, (3) dalam memberikan layanan mendasarkan kepada aturan-aturan birokrasi (perundang-undangan), (4) kriteria keberhasilan keputusan adalah banyaknya kebijaksanaan yang berhasil diimplemenasikan, (5) dalam memberlakukan sangsi mempergunakan kekuasaan negara yang mempunyai sifat memaksa, dan (6) modus operandi layanan mendasarkan mekanisme yang berasal dari atas (top down) atau pemerintahan sendiri.
II. Pada sektor privat : (1) mekanisme pengendali lyanan publik mengandalkan proses pasar, (2) pengambilan keputusan dilakukan oleh individu, para penabung dan investor, (3) pedoman perilaku adalah kecocokan harga, (4) kriteria keberhasilan keputusan/layanan adalah efisiensi yaitu memaksimalkan keuntungan dan atau kepuasan dan meminimalkan kerugian dan atau ketidakpuasan, (5) sanksi yang berlaku berupa kerugian finansial, (6) modus operandi pelayanan dilakukan oleh perorangan.
III. Pada sektor sipil : (1) mekanisme pengendali pelayanan adalah suatu asosiasi sukarela, (2) pembuatan keputusan pelayanan dilakukan secara bersama-sama oleh pemimpin dan anggota, (3) pedoman perilaku adalah persetujuan anggota,
(4) yang dijadikan sebagai kriteria keberhasilan suatu keputusan adalah terakomodasinya interes anggota, (5) sanksi yang ada berupa tekanan sosial anggota, dan (6) modus operandi pelayanan dilakukan dari bawah (bottom up).
Pada sektor ketiga, terdapat perbedaan antara Non Government Organization (NGO) dan Grassroot organization (GRO). NGO merupakan organisasi yang jaringannya sampai ke tingkat internasional. Karena itu, strukturnya juga jelas mulai dari tingkat internasional sampai ke tingkat individual. Sedangkan GRO atau organisasi akar rumput adalah suatu organisasi yang tumbuh dari bawah. Ia tidak terstruktur sampai ke tingkat internasional. Bahkan tidak jarang, GRO ini tumbuh dengan tingkatan lokal belaka.
Dengan demikian, sebagai sumber pelayanan publik maka peranan negara sangat komplementer dengan mekanisme pasar (pivat) maupun organisasi non pemerintah. Ketiga sumber pelayanan publik itu sama-sama diperlukan di dalam proses transmformasi sosial ekonomi masyarakat. Masing-masing seharusnya bekerja secara komplementer di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.
Perimbangan utama untuk memberikan kekuasaan kepada mekanisme pasar dalam penyediaan dan pendistribusian kebutuhan masyarakat adalah karena mekanisme kerjanya yang sangat efisien. Kekuatan-kekuatan di dalam pasar bekerja dengan sangat efisien karena mereka dirancang oleh profit. Hanya mereka yang bisa bekerja secara efisien akan dapat menikmati profit. Mekanisme kerja pasar yang ditentukan oleh harga sangat berbeda dengan mekanisme kerja birokrasi karena birokrasi bekerja berdasar atas kewenangan dan monopoli; oleh karena itu mekanisme kerja birokrasi cenderung tidak efisien.
Namun demikian, tidak semua kebutuhan masyarakat dapat disediakan oleh pasar secara efisien. Adakalnya mekanisme pasar secara ekonomis tidak efisien dan secara sosial tidak dapat diterima sebagai suber pelayanan publik (economic and social market failures). Dalam penyediaan barang-barang kebutuhan umum (public goods and social goods) mekanisme pasar seringkali tidak bekerja secara efisien, karena mekanisme harga tidak bisa bekerja dengan baik (karena adanya eksternalitas atau karena persyaratan yang dibutuhkan untuk bekerjanya mekanisme pasar tidak terpenuhi). Dalam situasi yang demikian ini, kehadiran birokrasi pemerintah atau lembaga non pemerintah diperlukan sebagai salah satu alternatif penyedia pelayanan publik.
Kingsley (1996) merekomendasikan perlunya reformasi karakter Pemerintah Lokal (internal reform) dengan menerapkan beberapa teknik sebagai berikut:
(1) “performance measurement”, dengan terdapatnya catatan laopran yang jelas dari hasil-hasil kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit pelayanan yang diberikan.
(2) “independent and objective audits”, baik terhadap performance dan managemen keuangan.
(3) “performance contracts”, dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (departemen, swasta atau NGOs).
(4) “decentralization of responsibility within government”, dengan membagi habis tugas-tugas dan memberikan target yang jelas terhadap pejabat-pejabat di bawahnya.
(5) “introducing customer orientation and access”, dengan mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan “one-stop-shops” untuk memudahkan dalam pengurusan perijinan, dan sebagainya.
(6) “a competitive mode of service provision”, dengan cara yang kompetitif dalam memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs.

Ide-ide ini dikembangkan di negara-negara berkembang seperti India, Equador, Mexico, Ghana, dan sebagainya. Dengan reformasi etrsebut diharapkan akan dapat membentuk masyarakat sipil (civil society) yan kuat dan terdapat “entrepreneurial leadership” untuk dapat memobilisasikan kelompok-kelompok di luar pemerintah dalam rangka pelayanan publik yang lebih baik.


Semoga Bermanfaat
Malang, Januari 2000
DAFTAR PUSTAKA

Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed), 1983. Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, London.
Frederickson, G, 1988. Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta.
Handayaningrat, S, 1988. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, CV Haji Masagung, Jakarta.
Kingsley, Thomas G, 1996. Perspectives on Devolution, APA Journal AUTUMN.
Rondinelli, Dennis A. etc, 1981. Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience, World Bank Staff Working Papers. Washington DC.
Thoha, Miftah, 1991. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, Widya Mandala, Jogjakarta.
Uphoff, Norman, “Grassroots Organizations and NGOs in Rural Development : Opportunities with Diminishing States and Expanding Markets”. Dalam Janvry, Alain de, et.all, 1995. State, market and Civil Organizations : New Theories, New Practices and their Implications for Rural Development, Mac Millan Press LTD, London.
Zuhro, R Siti, 1998, “Otonomi dan Pemerintahan Daerah di Thailand”. Dalam Laporan Penelitian : Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan, PPW-LIPI, Jakarta.

KEBIJAKAN DESENTRALISASI

Oleh:
Bhenyamin Hoessein
Bhenyamin Hoessein, Pengajar Pemerintahan dan politik Lokal FISIP UI
Sudah merupakan kelaziman, setiap UU apapun semula dari RUU hasil kerja sebuah panitia (tim) yang dibentuk oleh Pemerintah atau Menteri yang membidanginya. Demikian pula UU tentang pemerintahan daerah. UU No. 1 Tahun 1945 tentang komite Nasional Daerah berasall dari RUU yang disusun Subadio, sedangkan penjelasannya disusun oleh Hermani. UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketahui R. P. Soeroso. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai oleh Soenarjo. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok pemerintahan di Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai R.P. Soeroso. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai oleh E. Manihuruk. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berasal dari RUU hasil panitia yang diketuai Rapiuddin Hamarung.
Diantara keenam UU tersebut, hanya UU No. 1 Tahun 1957 yang berlandaskan pasal 131 dan 132 UUDS 1950, sedangkan kelima UU lainnya berlandaskan pasal 18 UUD 1945 sebelum mengalami amandemen. UU No. 1 Tahun 1957 pula yang berjudul tepat asas dengan judul bab yang menjadi landasannya dalam UUD 1945. Judul Bab IV UUDS 1950 adalah Pemerintahan Daerah, sedangkan judul Bab VI UUD 1945 adalah pemerintah Daerah.
Baik istilah Pemerintahan Daerah maupun Pemerintah Daerah berasal dari istilah Inggris Local Government atau istilah Belanda Local Bestuur. Kedua istilah asing tersebut dapat mengacu pada fungsi sebagai Pemerintahan Daerah (lokal). Dalam arti organ (institusi), istilah local authority (UN. 1961). Dalam arti tersebut utamanya mengacu pada council (raad) atau DPRD. Konsekuensinya konsep pemerintahan daerah (lokal) mencakup fungsi yang dilakukan juga oleh Council (Raad) atau DPRD. Local Government dapat pula berarti daerah otonom, hal ini disimak dari deskripsi local Government yang diberikan oleh UN (1961)
a political subdivision of nation (or in a federal system, a State) which is constituted by law and has substantial control of local affairs, including the powers to impose taxes or to extract labour for prescribed purposes. The governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected (UN, 1961).
Pada umunya berbagai UU Pemerintahan daerah sebelum UU No. 22 Tahun 1999 memiliki cara pandang yang tepat azas dalam memberi pengertian tentang Pemerintah Daerah dan pemerintahan daerah sebagaimana pengertian local Government dan dewan pemerintah Daerah (DPD). Anggota-anggota DPRD atas dasar perwakilan berimbang. KDH karena jabatannya adalah menjadi anggota merangkap Ketua DPD. DPD secara kolektif bertanggung jawab kepada DPRD selanjutnya KDH dapat berhenti karena keputusan DPRD. Apabila menurut UU No. 22 Tahun 1948 KDH diangkat oleh Pemerintah atas usul dan pemilihan dari DPRD, maka menurut UU no. 1 Tahun 1957 KDH dipilih oleh DPRD dan disahkan oleh Pemerintah.
Berbeda dengan rumusan Pemerintah Daerah dalam kedua UU tersebut yang mengedepankan keberadaan DPRD, rumusan Pemerintah Daerah dalam kedua UU berikutnya mengedepankan keberadaan KDH. Dalam UU No. 18 Tahun 1965 terdiri atas KDH memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada DPRD, namun ia tidak dapat dijatuhkan atas keputusan DPRD. KDH diangkat oleh pemerintah dari calon-calon yang dipilih dan diajukan oleh DPRD. KDH tidak bertanggungjawab kepada DPRD. Oleh karena itu KDH juga tidak dapat dijatuhkan oleh keputusan DPRD.
Walaupun terdapat variasi penonjolan kelembagaan dalam pengertian Pemerintah Daerah sebagai organ antara UU No. 1 Tahun 1974 di lain pihak, namun pengertian Pemerintahan Daerah sebagai fungsi dari Pemerintah Daerah dalam keempat UU tersebut adalah penyelenggaraan fungsi oleh kedua lembaga pemerintahan tersebut.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut cara pandang yang tidak tepat asas. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah lainnya sebagai Badan Eksekutif Daerah. Sedangkan DPRD sebagai Badan Legislatif daerah tidak di atas. Baik dalam UU No. 22 Tahun 1948 maupun UU No. 1 Tahun 1957 dinyatakan bahwa Pemerintah daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Anggota-anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota-angota (DPRD) termasuk Pemerintah Daerah. Namun, Pemerintahan Daerah merupakan penyelenggaraan fungsi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
Serangkaian pergeseran paradigma mengenai Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dari berbagai UU tersebut tentu menarik untuk dikaji. Sekalipun menurut UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 1 Tahun 1957, DPRD tercakup dalam konsep Pemerintahan Daerah, namun tidak berarti posisi DPRD lemah berhadapan dengan KDH. Namun kuat atau lemahnya posisi DPRD tersebut bertalian erat dengan ada atau tidaknya kewajiban akuntabiliti KDH terhadap DPRD dan konsekwensi yuridis dan politiknya, dan sama sekali bukan karena DPRD berada di dalam atau di luar Pemerintah Daerah. Penyusun UU No 22 Tahun 1999 terlalu emosional dalam bereaksi terhadap situasi yang terjadi dalam kurun waktu berlakunya UU No. 05 Tahun 1974 dan tidak sempat menelusuri sejarah UU Pemerintah Daerah, serta teori pemerintahan lokal yang akan dijadikan acuannya.
Dari dimensi teori pemerintahan lokal, UU No. 22 Tahun 1999 memang telah membawa pengesahan sejumlah model dan paradigma pemerintahan lokal lainnya “Structural Efficiency Model” yang menekankan efisiensi dan keseragaman di tinggalkan dan dianut "Local Democracy Model " yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan desentralisasi. Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model organisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing. Hubungan antara Dati II dan Dati I yang semula "Dependent” dan "Subordinate” kini hubungan antara Kabupaten/kota dengan propinsi menjadi "independent" dan "coordinate". Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya “Integrated Perfectoral System” yang parsial pada tataran profinsi.
Distribusi wewenang dalam bidang pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut “ultra - virest doctrine" dengan merinci kompetensi daerah otonom diganti dengan "General Competence" atau “open end arrangement" yang merinci kompetensi pemerintah dan profinsi. Pengawasan pemerintah terhadap daerah otonom yang semula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya pengawasan pemerintah terhadap kebijakan daerah yang semula secara preventif dan reprensif, kini hany cara represif. KDH yang scmula tidak akuntabel terhadap DPRD diciptakan akuntabel. Hubungan pmerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 05 Tahun 1974 bersifat searah dari atas kebawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal. Dalam Keuangan Daerah Otonom, terjadi pergeseran dari keutamaan ''Specific grant tt ke "Block grant".
Seperti diutarakan diatas perubahan model dan paradigma pemerintah lokal tersebut terasa berlangsung dalam suasana emosional sebagai reaksi terhadap model dan paradigma yang dianut oleh Orde Baru. Pemilihan model dan paradigma pemerintahan tersebut seolah-olah berada dalam ruang hampa, dalam arti tidak dikaji secara seksama faktor-faktor sosial budaya, ekonomi dan politik masyarakat Indonesia sebagai lingkungan eksternalnya. Disamping itu, tidak diperhitungkan keberadaan pemerintah lokal sebagai sub sistem dari sistem Pemerintahan NasionaL
Secara Substansial perubahan model dan paradigma tersebut kurang berpijak pada konsep-konsep dasar dalam penyelengga-raan otonomi daerah. Salah satu konsep dasar adalah desentralisasi dianut dalam organisasi Negara di Indonesia sebagai padanan konsep Devolution atau Political Decentralization. Konsep tersebut kurang dihayati.
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi melalui desentralisasi menjadi berstatus otonomi dengan jalan menjelmakannya sebagai daerah otonom. Sebagai pancaran kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek otonomi semestinya dicanangkan dalam kerangka hukum sehingga penyelenggaraan otonomi daerah menjadi lebih mulus.
Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Baik dalam definisi daerah otonom maupun otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi daerah otonomi yang diselenggarakan secara konseptual oleh Pemerintah Daerah.
Secara konseptual dan empirik di berbagai negara, kata local dalam kaitannya dengan local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah, tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian local government dan tercakup dalam \ocal autonomy bersifat locality. Basis politiknya adalah lokalitas dan bukan bangsa. Seperti yang tampak pada pengertian local government yang diberikan oleh UN bahwa daerah otonom mengelola local affairs sebagaimana dikemukakan oleh Hampton (1991) bahwa : local authority are elected bodies and expected to develop policies appropriate to their localities whitin the framework of national legislation. Dalam pasal 28 grundgesetz fur Bundesrepublik Deutschland (UUD Federal Jerman 1949 Amandemen terakhir 16-7-1998) juga ditegaskan bahwa " daerah otonom harus diberikam hak untuk mengatur urusan-urusan yang bersifat lokal.” Begitu pula dalam rumusan otonomi daerah pasal 1 butir l UU No. 12 Tahun 1999 terdapat kata-kata "mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri", Dalam kaitan ini sungguh tepat apa yang diutarakan oleh Page (1991):
To be local implies some control over decision by the community. The prmciples of representative democracy suggest that this influence is exercised at least in part through democratically elected officials who may be expected to represent local citizen and groups. Local elected representative can also provide the focus for forms of participatory democracy through direct citizen involvement or interest group activity.
Mengingat kondisi masyarakat lokal beraneka ragam, maka local government dan local autonomy akan beraneka ragam pula. Dengan demikian, fungsi desentralisasi (devolusi) untuk mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal. Desentralisasi (devolusi) melahirkan political variety untuk menyalurkan local voice dan local choice.
Sebagai subjek otonomi, maka keterlibatan masyarakat secara aktif perlu tersalurkan secara lebih tegas dalam kerangka hukum. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan daerah otonom baru yang sebenarnya merupakan pemekaran daerah otonom yang sudah ada dan penghapusannya (apabila terjadi) perlu disalurkan melalui lembaga "jajak pendapat". Kedua, keterlibatan masyarakat secara langsung bukan hanya dalam pemilihan anggota DPRD, tetapi dalam hal pemilihan KDH. Ketiga, keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses pembentukan kebijakan baik melalui persidangan DPRD secara terbuka maupun melalui mekanisme yang tercipta pada jajaran birokrasi lokal. Keempat, dibukanya keterlibatan masyarakat dan juga sektor swasta dalam pelayanan publik sebagai manifestasi paradigma governance.
DAFTAR PUSTAKA
Page, Edward C, Localism and Centralism In Europe. Oxford University Press, 1991.
U,N. Decentralization for National and Local Development, New York: 1962.
Hampton, William, Local Government and Urban Politics, London, and New York, Long Man, 1991.

AGENDA KEBIJAKSANAAN REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA

Prof. Dr. Muh Irfan Islamy, MPA.
Judul ini dipilih bukanlah sekadar untuk memenuhi tuntutan selera masyarakat yang sedang gandrung dengan reformasi akan tetapi lebih merupakan refleksi akademik saya untuk senantiasa peka terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih maju, modern dan sejahtera lahir dan batin. Kita telah sepakat kiranya bahwa reformasi itu mencakup berbagai aspek kehidupan kenegaraan kita secara total dan fundamental. Karena pada hakikatnya reformasi itu merupakan upaya bangsa yang perlu dilakukan tiada henti untuk selalu mencari dan menemukan format baru di berbagai bidang kehidupan dalam rangka menyempurnakan kualitasnya. Dan secara fundamental reformasi itu adalah merupakan a major change of the mind - set untuk mengubah tata pikir yang keliru, yang perlu direvisi menuju ke tata pikir yang lebih mendasar sesuai dengan cita - cita dan kepentingan masyarakat bangsa kita.
Saya ingin mengajak untuk merenung dan memikirkan penyempumaan kualitas administrasi negara kita yang akhir - akhir ini dinilai kurang menggembirakan. Agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara (administrative reform) yang saya maksud perlu disusun dan diarahkan menuju ke peningkatan kinerja pemerintah yang tidak saja secara klasik demi tercapainya tujuan yang efektif dan efisien tetapi juga sejauh mungkin tujuan itu tercapai sesuai dengan kriteria public accountability and responsibility yang harus dipenuhi oleh setiap aparat pemerintah / birokrasi negara di semua lini. Untuk mencapai tujuan itu reformasi administrasi negara utamanya pada penyempurnaan manajemen pelayanan publik. Hal ini disebabkan karena masyarakat selalu mengharapkan memperoleh pelayanan yang sebaik - baiknya dari aparat pemerintah.



Mengapa kita perlu menyusun agenda kebijaksanan reformasi administrasi negara yang berujung pada penyempurnaan manajemen pelayanan publik?
Setidak - tidaknya ada 5 hal dan sekaligus menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh administrasi negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik -baiknya kepada masyarakat
1 Derasnya tuntutan agar pemerintah mampu menumbuhkan adanya good governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Rekruitment penyelenggara pemerintahan di semua jenjang harus benar -benar didasarkan pada persyaratan merit system dan menolak favoritisme dan nepotisme.
2 Semakin tajamnya kritik masyarakat atas semakin rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat telah merasa melaksanakan kewajiban -kewajibannya tetapi seringkali hak -haknya terpasung oleh aparat pelayanan.
3 Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis sehingga mereka benar - benar paham bahwa kita sekarang sangat membutuhkan aparat pelayanan yang mampu to do more with less artinya dalam situasi yang penuh dengan krisis ini aparat pelayanan harus bekerja lebih keras dan lebih produktiv dengan serta kelangkaan sumber – sumber.
4 Aparat pemerintah dituntut agar bekerja lebih profesional dengan mengedepankan terpenuhinya public



accuntability and responsibility yaitu menyatakan bahwa reformasi administrasi dengan menekan sekecil mungkin terdiri dari dua aspek mayor yaitu:

pemborosan penggunaan sumber -sumber negara dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules) sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas -tugasnya.


5. Masyarakat, sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest), menuntut agar pemerintah memperhatikan dengan sungguh - sungguh aspirasi mereka dan sejauh bisa memenuhinya.
Kelima hal diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak tuntutan masyarakat yang harus diperhatikan dengan sungguh -sungguh oleh birokrasi pemerintah.
Reformasi administrasi pada hakikatnya menyangkut dimensi dan spektrum yang sangat luas dan kompleks dengan tujuan yang sangat jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijaksanaan reformasi adminsitrasi perlu diarahkan (dengan meminjam kata - kata Caiden:1969): "to Improve the administrative performance of individuals, groups, and institutions more effectively, more economically, and more quickly.” Setiap aparatur pemerintah dengan demikian perlu ditingkatkan keahlian / kapasitas administratifnya, tanggung jawabnya, moral etikanya, kepribadiannya, semangat kerjanya, kreativitasnya, loyalitasnya, semangat keepentingan bersamanya, disiplinnya, otonominya dan saling ketergantungannya serta profesionalismenya. Dan secara kelembagaan yang perlu diingatkan antara lain strukturnya, sistem dan prosedurnya, kepemimpinannya, koordinasinya, manajemen partisipasinya, adaptasinya, hubungannya dengan klien, efisiensi dan efektivitasnya, akontabilitas dan responsibilitasnya.
Pandangan Caiden diatas secara lebih spesifik bisa diartikulasikan ke dalam pandangan para pakar administrasi dari negara -negara Asia Pasifik yang tergabung ke dalam Eastern Regional Organization for Public Administration (EROPA) seperti misalnya Zhijian, de Guzman, dan Reforma (1992) yang

Firstly, from the point of view of structuralchanes, which involves adjustment in authority relationships in bureaucratic organization by way of abolition, integration merger or creation of administrative units, the transfer of addition of functions and responsibilities of agencies, as well as the introduction of new procedures and regulations in governmental transactions, Secondly, from the point of view of behavioral changes which have to be engendered to evoke productivity values as well as responsiveness to the client systems.
Kedua arah dan sasaran reformasi administrasi yaitu penyempumaan struktur birokrasi dan pembahan perilaku aparatnya menjadi conditio sine quo non bagi upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah.
Menurut pandangan pakar administrasi kita, misalnya Siagian melihat pentingnya arah reformasi administrasi negara di Indonesia yang ditujukan ke pengembangan administrative infrastrukture yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja (Siagian:1982). Dan menurut Tjokroamidjojo ketika menganalisis administratif pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi administrasi perlu ditujukan ke 7 wilayah penyempurnaan utama yaitu (Tjokroamidjojo:1985):
1 Penyempumaan dalam bidang pembiayaan pembangunan
2 Penyempumaan dalam bidang penyusunan program -program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non ekonomi dengan pendekatan integratif (integrative approach).
3 Reorientasi kepegawaian negeri ke arah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah.
4 Penyempumaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah.




1 Administrasi partisipatif untuk mendukung pembangunan daerah.
2 Kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan.
3 Lebih bersihnya pelaksanaan administrasi negara



Menyadari akan luas dan kompleksnya arah dan wilayah reformasi administrasi negara di negara kita maka pelaksanaannya perlu memperoleh dukungan dari sektor - sektor lain seperti politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Kondisi politik yang stabil, perkembangan ekonomi yang tinggi dan pelaksanaan hukum yang mantap dan konsisten akan memberikan kontribusi yang optimal bagi keberhasilan usaha -usaha reformasi administrasi di negara kita.
Penyusunan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi negara membutuhkan strategi yang tepat. Pilihan pendekatan yang akan dipakai perlu ditetapkan yaitu apakah akan menggunakan pendekatan komprehensif (comprehensive approach) ataukah pendekatan inkremental (selectivism / The islands of Excellence approach). Masing -masing pendekatan apabila dipergunakan secara terpisah mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri - sendiri. Reformasi administrasi yang menggunakan pendekatan komprehensif kelebihannya adalah bisa mencakup berbagai sektor infrastruktur administratif yang luas tetapi kelemahannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan untuk negara berkembang seperti halnya negara kita mempunyai kendala keuangan / dana dan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Pendekatan inkremental kelebihannya adalah karena sering kali reformasi terkesan tambal sulam dan lebih -lebih lagi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia tidak memiliki administrative maping yang bisa dipakai sebagai landasan untuk melakukan reformasi administratif yang menyeluruh.
Sehubungan dengan hal itu maka penetapan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi di negara kita perlu mencermati kelemahan - kelemahan yang ada pada ke dua pendekatan tersebut di atas dan memanfaatkan kelebihan -kelebihannya. Menurut Tjokroamidjojo (1985).

"Pada umumnya cenderung dilakukan suatu perencanaan perhatian dan penyempurnaan administrasi negara dilihat secara menyeluruh dalam dimensi waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan pula antara lain karena tingkat kematangan suatu perbaikan administrasi negara memang memerlukan jangka waktu panjang. Tetapi pelaksanaannya dilakukan secara sebagian -sebagian sesuai dengan prioritasnya.”
Dengan bahasa lain, menurut saya dalam menetapkan agenda kebijaksanaan reformasi administrasi di Indonesia perlu memadukan secara serasi kedua pendekatan tersebut dengan terlebih dahulu diawali dengan penyusunan peta reformasi administrasi yang menyeluruh, jelas dan akurat dan kemudian diikuti dengan kebijaksanaan implementasi yang konsisten dan bertahap sesuai dengan kemampuan dana dan daya.
Sebagaimana yang telah saya kemukakan sebelumnya bahwa end - product dari kegiatan reformasi administrasi negara di negara kita seyogyanya diarahkan pada penyempumaan manajemen pelayanan publik. Oleh karena itu, agenda kebijaksanaan reformasi admimstrasi yang perlu disusun adalah sebagai berikut:
l. Memadukan Rule Governance and Goal Governance
Kita semua telah melihat dan merasakan bahwa sebagian besar organisasi publik kita di berbagai sektor misalnya pemerintahan, pendidikan dan kebudayaan dan sebagainya telah berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational lack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintahan atas masalah ini dan bahkan mereka telah memberkan berbagai macam public alarm agar pemerintah, sebagai instansi yang paling berwenang, responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dan mengambil inisiatif yang cepat untuk menanggulanginya dengan cepat


Terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan / orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, pengusaaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah tambunnya unit-unit organisasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (Personalia, peralatan dan Penganggaran), yang cukup handal (viable bureacratic infrastructure). Aparat Organisasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin. Mereka tidak responsif terhadap aspirasi dan kepentingan publik serta lemah adaptasinya terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Selain itu, salah satu public alarm itu juga berbunyi nyaring yang mempertanyakan tentang posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan publik / kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat rakyat, alat penguasa ataukah penguasa itu sendiri? (Kuntjoro-Jakti:1980). Amien Rais (1997) dengan jelas telah menunjukkan posisi birokrasi kita yang telah berkembang menjadi semakin elits yang semakin jauh keberpihakannya kepada kepentingan masyarakat banyak. Aparat pelayanan kita telah memposisikan dirinya sebagai tuan yang meminta pelayanan dan bukan sebagai abdi yang harus memberikan pelayanan.
Birokrasi publik itu kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patriomonalistis: tidak efisien, tidak efektif, (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Usaha - usaha untuk me -make up wajah birokrasi publik yang patriomonialistis menjadi yang lebih rasionalistik bukan humanistik (Dvorin dan Simmons: 1972) telah ada /lama dilakukan, namun hasilnya masih

belum meyakinkan. Hal ini tampak misalnya penerapan prinsip -prinsip birokrasi tipe ideal Weber yang berciri struktural-hierarkikal, imparsial, penerapan aturan yang ketat, pengawasan yang ketat, berdasarkan prinsip keahlian / spesialisasi dan sebagainya, kemudian dikenal dengan paradigma rule governance, telah banyak dilakukan di berbagai organisasi publik. Penerapan prinsip - prinsip birokrasi rasional menunjukkan hasil di satu sisi positif dalam arti semakin tingginya tertib administrasi yang dicapai oleh organisasi publik, tetapi di sisi lain bersifat counter -productive terhadap nilai - nilai kemanusiaan. Birokrasi publik telah menjadi mesin rasional yang menciptakan perilaku aparat yang formal, kaku dan robotic yang kurang peka terhadap nilai - nilai kemanusiaan dan lingkungan sosialnya. Struktur birokrasi yang terlalu rasional bisa menimbulkan akibat-akibat disfungsional dari birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat bisa menyebabkan timbulnya konflik dengan masyarakat yang dilayani. Demikian pula aturan - aturan (rules) sebagai sarana untuk mencapai tujuan seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri bila aparat tidak memahami dengan benar fungsi atau peran aturan - aturan tersebut. Aturan - aturan itu menurut Reinhard Bendix "tidak lebih dari penuntun - penuntun yang tidak sempuma bagi tindakan manusia sehingga faktor - faktor di luar aturan itu harus diperhatikan."
Paradigma rule governance tidak berarti tidak bisa dipakai pada birokrasi publik era Indonesia kontemporer. Relevansi dan signifikasinya masih bisa dipertahankan sepanjang sisi - sisi positif dari paradigma tersebut dapat secara terus menerus dapat diadaptasikan dengan administrative ecology yang terus berubah.
Manajemen sektor publik yang dijalankan berdasarkan paradigma rule governance berimplikasi pada eksistensi dan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan di mana "Governance should be small and organized in accordance with clear rules that promote predictability and legality". (Jan -Erik Lane:1995). Pemerintah kita sekarang tidak lagi kecil tetapi sudah demikian besar yang tentu saja tidak dapat lagi dijalankan


dengan semata -mata berdasarkan pada sistem perilaku aparat yang berorientasi pada aturan yang ada (a rule oriented system of behavior) tetapi harus lebih pada sistem perilaku yang berorientasi pada pencapaian tujuan (goal-oriented behavior). Pemerintah kita sekarang membutuhkan lebih banyak tenaga profesional yang menguasai teknik - teknik manajemen pemerintah dan yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan. Atau seperti yang dikatakan oleh Lane : "The rule may be handled by administrative prersonnel whereas golas must be accomplished by professionals". Oleh karena itu, manajemen sektor publik sekarang ini membutuhkan lebih banyak aparat -aparat profesional yang dapat menangani tugas -tugas pemerintahan berdasarkan keahlian profesional.

Manajemen pelayanan publik, dengan demikian harus lebih dilandaskan pada paradigma goal governance yang didasarkan kepada pendekatan manajemen baru (a new managerial approach). Dikatakan oleh huges (1994) bahwa : the public sector in the future will inevitably be managerial in both theory and practice". Paradigma goal govemance berupaya untuk menghilangkan praktek -praktek birokrasi Weberian yang negatif seperti struktur birokrasi yang hierarkhikal menghasilkan biaya operasional yang lebih mahal dari pada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya inisiatif / kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai lawan dari budaya meritokratis) dan inefisiensi.
Pendekatan manajemen baru di sektor publik, menurut Huges, ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut :
Pertama, peubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisonal menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
Kedua, keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik untuk menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan lebih luwes.
Ketiga, tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan untuk dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing -
masing. Demikian pula sistem evaluasi program - programnya.
Keempat, staf pimpinan yang senior mungkin bisa mempunyai komitmen politik kepada pemerintah yang ada dari pada bersikap non partisan dan netral.
Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji-pasar (market tests) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan/ ditangani sendiri oleh pemerintah.
Keenam, mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
Penerapan pendekatan manajemen barupada sektor publik telah banyak disarankan oleh para pakar dengan label yang berbeda -beda seperti misalnya dengan nama "managerialism" oleh Pollitt (1990), "new public management oleh Hood (1991), market -based public administration" oleh Lan dan Rosebloom (1992), dan "enterpreneurial government" oleh Osborne dan Gaebler (1992). Adapun label yang dipergunakan, yang jelas telah banyak sektor publik di negara-negara maju baik di benua Amerika maupun Eropa yang telah berhasil menerapkan pendekatan manajemen baru ini.
Dapatkah pendekatan manajemen baru di sektor publik ini diterapkan di negara kita ? yang jelas pendekatan manajemen baru ini telah merubah fokus sektor publik dari yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "Product atau dari "rule govemment menuju ke "goal govemance.”
Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan penting tersebut di atas perlu kita clearkan posisi kita atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
Bagaimanakah aparat pemerintah kita menyikapi perubahan-perubahan yang begitu cepat terjadi pada masyarakat kita? administrasi competence apa saja kah yang harus dimiliki aparat pemerintah agar mampu menangani berbagai masalah yang timbul silih berganti ? sejauh manakah aparat pemerintah tetap bertindak populis dan berpihak kepada kesejahteraan rakyat banyak mengingat begitu besamya tantangan dan tanggungjawab yang harus dihadapinya ?

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA

Annisa Purwatiningsih
Alumnus Pascasarjana Unibraw
Prof. Drs. Ismani HP., MA
Fakultas Ilmu Administrasi Negara
Drs.Irwan Noor, MA
Fakultas Ilmu Administrasi Negara
SUMMARY
As the attempt in optimizing rural peoples’ participation is the issue of The Decision of Minister of Internal Affair (Directorate General of Village Development) No. 414. 24/185 Set-1996 that is basically provides the recommendation concerning the strategy in empowering rural peoples through strengthening people integration as local community. Besides in the attempt to carry out village development, active politic participation of the local peoples is expected to identify various problems encountered in village development with the solution alternative which is thoroughly carry out by the peoples.
The result of this study indicated that
(1) The four independent variables simultaneously have positive and significant effects toward peoples’ politics participation of 0,699, (2) The variable with dominant effect is cultural norms factors, namely peoples’ politics cultural norms are still strong in Javanese villages, (3) The success in implementing Village Development Fund (DPD/K) Program indicated that the policy of DPD/K program, not yet directed to the per-capita income enhancement and the effort of peoples’ political empowerment.
With the result which in turn is intended for the policy of Village Development Fund (DPD/K) Program, the policy determination and the implementation serve as combination of top-bottomer versus bottom-topper strategies, the form of semi-mobilized and semi-voluntary political participation of rural peoples, should be maintained or improved to be voluntary one with the policy determination and implementation of Village Development Fund (DPD/K) Program by applying bottom up strategy and Village Development Fund (DPD/K) Program is still considered important to motivate and optimize the peoples’ political participation in the village development.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Strategi pembangunan Indonesia adalah peningkatan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya melalui arah kebijakan pembangunan sektoral dan pemberdayaan masyarakat (people empowering) terutama dipedesaan. Pembangunan desa bersifat multisektoral dalam arti pertama sebagai metode pembangunan masyarakat sebagai subyek pembangunan; kedua sebagai program dan ketiga sebagai gerakan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dilandasi oleh kesadaran untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik (Setyono, 2002:34). Berdasarkan catatan statistik diketahui bahwa hampir 80% penduduk di Indonesia bertempat tinggal dipedesaan. Dengan jumlah penduduk yang besar dan komponen alam yang potensial akan mendapakan asset pembangunan, apabila dikembangkan dan diaktifkan secara intensif dan efektif untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam Tap MPR No. IV Tahun 1999 tentang GBHN 1999-2004 mengamanatkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana. pembangunan system agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk mempercepat pembangunan pedesaan. Untuk visi, misi, wawasan pembangunan, arah dan pendalaman pembangunan menurut GBHN 1999-2004 yang dimanteli dengan pembangunan daerah, maka dikembangkan salah satu program pembangunan pedesaan yang berakar dari masyarakat yaitu Dana Pembangunan Desa / Kelurahan (DPD/K)
Kebijakan dana pembangunan desa secara bottom up yang pada hakekatnya menjadi tidak lain dari suatu upaya politik developmentalism di desa, yang penyelenggaraannya ditekankan pada dua aspek yaitu pertama, menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya; kedua, mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang/peluang yang tercipta (A.Gany, 2001:5). Namun terjadi democracy crisis, suatu kondisi dimana proses pengambilan keputusan (kebijakan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat, berjalan tanpa keterlibatan substansial (Moko,2001:3). Pembatasan akses rakyat desa dalam arena pengambilan kebijakan (political decision), para pengambil kebijakan menempatkan diri layaknya pihak yang memiliki otonomi untuk mengambil keputusan, meskipun tanpa partisipasi politik dan persetujuan dari rakyat desa (Juliantara, 2003:13). Kebijakan didesa lebih merupakan konvensi yang secara inkremental dibangun atau berupa cetusan-cetusan pemikiran aparat yang secara spontan dan sedikit impulsif diterapkan sebagai arah gerak laju desa (Gaffar, 2002:2).
Mobilisasi partisipasi politik masyarakat melemah, yang ada hanya partisipasi pelaksanakan kegiatan gotong-royong, finansial masyarakat untuk kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah desa. Partisipasi politik yang pluralistik dibatasi, partisipasi politik rakyat lebih diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit penguasa (Mas’oed, 1997:16). Pelaksanaan program pembangunan desa oleh pemerintah telah membuat desa dan penduduknya menjadi semakin tidak berdaya secara politik. Proses pembangunan desa yang berjalan tidak menjadikan desa berubah, berkembang menjadi lebih baik dan lebih bermakna, namun sebaliknya. Ini menjadikan desa baik dari sosial, ekonomi maupun politik justru tetap berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Pembangunan yang dimaksudkan untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan, namun program pembangunan pedesaan yang ditentukan tidak menciptakan harapan atau kemungkinan pilihan masyarakat (public choice) desa.
Pembatasan partisipasi politik masyarakat dalam penerapan kebijakan pembangunan desa (Bangdes) berkaitan dengan masyarakat desa berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1981 mengenai sistem perencanaan pembangunan desa yang dalam pelaksanaannya cenderung bersifat top down, yang tidak menciptakan pilihan dan harapan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan menyangkut kepentingan masyarakat sangat minimal. Terjadi penyimpangan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Desa bahwa kebijakan pembangunan desa (Bangdes) digunakan untuk program yang diprioritaskan masyarakat desa.
Kartasasmita(1997), menyebutkan bahwa studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi (politik) masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menetang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1).Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2).Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3).Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4).Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan
Sehingga pergeseran kebijakan program dana pembangunan desa yang komprehensif perlu keterlibatan politik masyarakat secara efektif dan dukungan berbagai sektor terpadu termasuk dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh memihak kepada kepentingan masyarakat sangat diperlukan guna mengakhiri pembatasan akses rakyat dalam proses pembangunan desa. Kebijakan program dana pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek partisipasi politik masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru (Mujani, 2002:125). Partisipasi politik masyarakat desa akan menghindari kebijakan program dana pembangunan desa yang sentralistik, dan ditujukan bentuk kepentingan politik masyarakat (A.Gany, 2001:5). Dengan mengacu pada upaya (political empowernment) masyarakat desa yang berprinsip pada lokalitas (Friedman, 1992:168) dan melepaskan diri dari paradiqma yang bersifat dependency creating (Tjokrowinoto, 1996:41), maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi politik aktif dari masyarakat.
Dalam era reformasi pada aras lokal dan sebagai upaya dalam rangka mengoptimalkan partisipasi politik masyarakat desa, inisiatif, inovatif, dan kreatif untuk mendorong kemajuan otonomi asli desa dan menegakkan demokrasi lokal yang selama ini “terpendam” dan telah dimiliki masyarakat, serta upaya pemberdayaan masyarakat desa mencakup community development dan community-based development. (Setyono, 2002:4). Selain itu dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi politik aktif masyarakat untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, pentingnya melihat pengaruh antara faktor sosial-ekonomi, politik, fisik dan budaya terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari pemaparan dan kenyatan diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1 Seberapa besar faktor sosial-ekonomi, faktor politik, faktor fisik dan faktor nilai budaya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa secara simultan maupun parsial ?
2 Faktormanakah yang dominan berpengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa?

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini meliputi:
1 Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa baik secara parsial maupun simultan.
2 Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa.

TINJAUAN PUSTAKA
Politik Pembangunan Desa
Mas’oed (!997:15) politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan kesejahteraan masyarakat desa
Berbagai program pembangunan desa dalam perencanaan partisipatif yang diterapkan oleh pemerintah yang secara umum untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat desa, tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Direktur Jenderal Pembangunan Desa) Nomor 414. 24/185/set 10 Juni 1996, bahwa dalam rangka penerapan metode P3MD terdapat 12 program/kegiatan umum yang erat kaitannya dengan arah pembangunan desa. Program tersebut ditujukan untuk: 1).Meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan keputusan termasuk kelompok miskin dan perempuan; 2).Meningkatkan kualitas hidup masyarakat dibidang pendidikan dan kesehatan; 3).Meningkatkan penyediaan prasarana sosial ekonomi masyarakat pedesaan; 4).Memperluas kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat; 5). Mengembangkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan, menyelenggarakan, dan melestarikan pembangunan serta mengakses sumber daya yang tersedia; 6). Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap program permbangunan dipedesaan. 7).Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan pembangunan didesa.
Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab, menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta berkesinambungan.(Nugroho, 2000:138). Weaver (2002:7), politik pembangunan menyangkut keberhasilan pembangunan desa bisa dicapai, bila usaha-usaha pembangunan langsung ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta sebagai usaha memberdayakan masyarakat secara langsung.